Tuesday, May 19, 2009

Sh! Women's Erotic Emporium

Sh! Women’s Erotic Emporium is a female-run British business selling sex toys, strap-on dildo harnesses, books on all aspects of sex, and accessories. Founded in 1992 by Kathryn Hoyle and Sophie Walters, the company also manufactures dildos and harnesses, and commissions BDSM playthings, lubricant, massage oil, toy cleaner and vibrating toys.

The Sh! shop is located in Hoxton Square, London, but the company also runs a mail order business via the company website and has its HQ in Forest Gate. Sh! employs 18 women. In 2007 it had a turnover of £500,000, which has remained stable over the last six years but peaked in 2003 at £560,000.

Kathryn Hoyle was born in Ilkley, West Yorkshire and grew up with a feminist mother, a free-thinking father and one brother. She attended her local school, Ilkley Grammar, before going on to complete a foundation art course in Bradford and graduating with a degree in Fine Art from The Faculty of Arts and Architecture, Brighton University. After graduating Kathryn spent the mid-late 1980s floating from job to job. She taught English in Japan, spent time as a nanny in London, had her own sandwich round before starting Sh!.







Sophie Walters was born in Bracknell, Berkshire and went to Marist Convent Catholic School in Sunninghill, Berkshire. At 17, she started a business and commerce course at Windsor College. Upon completion of the course Sophie worked for Securicor Heathrow, Air Courier Division and later on for Roy Bowles Transport & Cargo. In 1989, she took up the position of Logistics Manager at Sony Corporation Air Cargo and then, after meeting Kathryn in 1991, joined Sh!

Sh! runs educational workshops and collaborates with National Health Service Trusts in providing sex toys for women with sexual difficulties.

Sh! Training Kit The Sh! Training Kit is comprised of 4 size-graded vibrators with lube sachets and full instruction menus. It is designed for women with vaginismus or who need a dilating kit to help get them back into shape. The kit was developed through links with over 20 NHS trusts and now recommended by doctors and sex therapists. The Sh! training kit is also part of a PhD project, at The Royal United Hospital Bath Gynae Oncology department,[4] to research the possibilities and implications of using vibrators in the post-surgery dilating process for women.

2003 International Sexology Conference In 2003, Adeola Agbebiyi from the Barts and the London NHS Trust, Kathryn Hoyle and Angel Zatorski both from Sh! Women's Emporium, part-took presented two papers exploring the relationship between women and sex toys.[5]

Sh! Sex Toy Workshops Sh! has a Sex Toy Workshop aimed at student, LBGT and youth groups and wrote the introduction to sex toys and safer sex for the Oxford University Student Guide.

Art at Sh! The Sh! shop also hosts exhibitions of art work centring on erotic and/or sexual themes.

Books Sh! is also one of three remaining women's bookstores in London and has a comprehensive selection of women's erotica and books dealing with women's sexuality and related issues. Read More..

Perawan Ana

Perkenalanku dengan Ana (nama sebenarnya), kasir restoran khas Sunda, ketika aku menyelesaikan bill makan siangku. Aku ngotot membayar makananku sendiri ke kasir (lazimnya dibantu oleh waiter) karena tertarik sama gadis belia ini. Ana, seperti mojang Priangan lainnya berkulit putih bersih. Tak begitu tinggi, dadanya sedang tak begitu tampak ukurannya sebab tersembunyi dibalik baju seragamnya yang “sopan”, Rok 5 cm di atas lutut memperlihatkan kakinya yang indah mulus. Dalam percakapan singkat sewaktu membayar, aku sempat memberikan nomor telepon kantorku. Kenapa aku nekat melakukan ini karena sewaktu aku makan, kami sering beradu pandang. Matanya agak jelalatan memperhatikanku. Siapa tahu bisa berlanjut.

“Ditunggu teleponnya” bisikku sambil melangkah keluar. Ana hanya senyum tipis tak menyahut.

Seminggu berlalu, telepon kantorku berdering. Ana nelepon ! Sebenarnya, Aku sudah hampir melupakannya. Setelah berbasa-basi, aku mulai menjalankan rencanaku.
“Pulang dinas jam berapa” tanyaku
“Kalau dinas siang pulang jam tiga, kalau dinas malam jam sepuluh” jawabnya. Jam dinas shift seminggu siang seminggu malam bergantian.
“Saya jemput jam tiga, ya”
“Engga usah, biasa pulang sendiri naik angkot” elaknya
“Sekali-sekali, biar cepet sampai rumah” bujukku.
“Engga ah, udah biasa pulang telat”
“Kalau pengin pulang telat, ya…jalan-jalan dulu”
“Mau kemana” jeratku mulai mengena.
“Yah…nonton, kek”
“Engga suka”
“Atau ke Lembang” aku mulai masuk
“Jauh”
“Yah…sebelum Lembang” Ini semacam ‘-*test*-(’”)-case’. Sebelum Lembang, jl Setiabudi banyak bertebaran hotel, wisma, losmen, atau apapun namanya yang sering digunakan orang untuk “BBS” (bobo-bobo siang). Sebagian besar hotel-hotel di sana menyediakan tarif “istirahat” (sekitar 3-4 jam) untuk pasangan selingkuh.
“Yeeeee….!” Jawabnya. Berarti Ana sudah memahami maksud ajakanku.
“Okey, setuju ?” serangku.
“Gimana nanti aja” ini artinya okey !

Tak mau kehilangan kesempatan emas, jam 3 kurang 10 aku sudah parkir di seberang restoran tempat Ana bekerja. Jam 3 lewat 5 Ana belum kelihatan. Aku terus mengawasi pintu restoran itu. Setiap cewe berseragam kemeja putih dan rok hitam yang keluar dari pintu itu tak lepas dari mataku. Lewat seperempat, belum juga nongol. Aku putuskan untuk pulang sambil menstart mobil. Tapi buru-buru mesin kumatikan setelah di seberang sana mojang putih itu muncul. Aku turun mengambil posisi yang tepat. Aku melambai begitu ia melihatku. Aku masuk mobil lagi dan menstarter kembali sambil membuka pintu sebelah. Stil yakin, padahal belum tahu ia mau atau tidak.
“Mau kemana ?” tanyanya melalui jendela mobil.
“Naik aja” jawabku sambil berdebar, takut ketahuan kenalan yang mungkin saja lewat jalan Martadinata ini.
“Ya kemana dulu”
“Cepet masuk dong, engga enak dilihat orang” perintahku. Dengan ragu Anapun masuk. Aku segera kabur dari situ. Rok seragamnya yang agak pendek makin terangkat ketika duduk, memperlihatkan sepasang kaki dan sebagian pahanya yang mulus.
“Mau kemana sih ?” tanyanya mengulang.
“Jalan-jalan”
“Jalan-jalan ke mana ?”
“Kan janjinya ke sebelum Lembang”
“Heee…siapa yang janji”

Aku mulai mewawancarainya. Dia baru lulus SMIP (Sekolah Menegah Industri Pariwisata, setingkat SMU) dan baru 3 bulan kerja sebagai kasir. Tinggal di Sarijadi sama mamanya. Dia tak mau memberi nomor teleponnya. Aku mengarah ke Setiabudi.
“Belok kiri, dong” katanya ketika kami sampai di pertigaan Gegerkalong. Memang, kalau mau ke Sarijadi harus belok kiri. Tapi aku lempeng aja, terus ke atas. Ana protes aku tak peduli.
“Kita santai sebentar” kataku menghentikan protesnya. Tak ragu-ragu aku belok ke kanan masuk ke hotel “GE”.
“Eh…ngaco…kemana nih” protesnya lagi”
“Tenang aja…” padahal aku sendiri tak tenang, takut ketahuan.
“Saya udah menikah lho” katanya yang entah apa maksudnya. Masa umur 19 sudah menikah, aku meragukannya.
“Engga apa-apa, toh kita engga akan menikah” jawabku sekenanya.

Setengah berlari pelayan hotel menuntun mobilku menuju garasi dengan rolling door yang diatasnya tertulis E-3. Begitu sampai di dalam garasi pelayan segera menutup rolling door. Aman.
Kami duduk di kamar hotel sambil minum coke sementara di depan kami terbentang tempat tidur ukuran dobel dengan sprei putih bersih. Ana lebih banyak diam. Tak sabaran aku ingin segera bergulingan dengan Ana di atas kasur itu. Semua urusan administrasi sudah kubereskan. Tinggal gimana cara memulainya ?
“Sering bawa cewe ke sini., ya” tanyanya tiba-tiba.
“Ah, engga pernah” jawabku berbohong.
“Bohong, tadi udah hapal, berarti sering”
“Gini…kantorku ‘kan sering nyewa ruang rapat di sini. Kalau Rakor kan biasanya 2 atau 3 hari. Semua peserta rakor nginap di sini” aku mengarang cerita. Hotel ini entah punya ruang rapat atau tidak.
“Kok ngajak ke sini, emangnya Ana apaan” Bingung juga aku.
“Yaaa….supaya kita bisa ngobrol dengan tenang, engga ada gangguan” entah ini bisa menjawab protesnya atau engga.

Obrolan dilanjutkan. Dia mulai terbuka dengan bercerita tentang pekerjaannnya, suasana rumahnya, dan pacarnya. Ternyata Ana pacaran dengan orang Cina yang sudah berkeluarga. Sambil ngobrol, sesekali tanganku menyentuh pundaknya, menepuk pahanya. Ana tak memprotes kelakuan tanganku.
“Kenapa tadi ngaku udah menikah”
“Supaya mas engga macam-macam”
“Emangnya aku takut sama suami kamu”
“Tuh…. kan…….” Ana tak meneruskan kalimatnya, karena aku langsung pegang kedua bahunya, dan bibirnya kucium. Ana meronta tapi kepalanya kupegang. Masih duduk di kursi kami berciuman. Ana tak berontak lagi. Lidahku mulai masuk ke mulutnya dan ternyata disambut pula dengan lidahnya. Hatiku bersorak. Ana tak menolak !

Dari kepala, tanganku turun merabai dadanya. Amboi….ternyata Ana punya gumpalan daging yang bulat dan keras. Dari luar memang tak begitu kelihatan tonjolan dadanya. Kemeja seragamnya terlalu sopan untuk menonjolkan bagian-bagian tubuh. Ana membiarkan tanganku meremas-remas dadanya. Wah….ini sih bisa “dimainkan”, pikirku. Penisku mulai tegang, walaupun remasan itu tak langsung, masih ada kutang dan kemeja, tapi bentuk bulatnya terasa memenuhi telapak tanganku. Adanya “sinyal penerimaan” ini membuatku melangkah lebih lanjut. Kubuka kancing kemejanya satu persatu. Tapi sampai kancing keempat, Ana menahan tanganku sambil melepaskan ciumannya.

“Jangan….Mas……” katanya sambil terengah.







Kesempatanku untuk melihat buah dadanya. Dibalik kutang berwarna krem itu menyembul sepasang gumpalan daging putih bersih. Bukan main indahnya. Buah dada Ana tak begitu besar, cuma bentuk bulatnya, ditambah putih mulus, menjadi nyaris sempurna. Walaupun masih tertutup kutang, tapi pinggir-pinggir atasnya yang terbuka menegaskan bentuk bulatnya itu. Segera saja aku menciumi bagian dada yang tak tertutup kutang, termasuk belahannya. Terasa, tambah satu lagi keistimewaan buah ini : kenyal, bahkan cenderung keras ! Inilah kriteria buah dada yang sudah lama kuimpikan ! Bulat, putih, mulus, dan keras. Hanya satu kriteria yang tak masuk untuk buah dada Ana, yaitu ukurannya. Seandainya buah dada Ana ini besar, katakanlah 34B, maka tiada kata lain selain : sempurna ! Beberapa wanita yang pernah aku setubuhi, tidak ada yang dadanya seindah punya Ana. Si Novi misalnya. T-shirt ketatnya menonjolkan sepasang buah yang besar menonjol ke depan begitu menggairahkan. Tapi setelah kutangnya terbuka, dada itu memang besar sih…hanya sudah turun dan agak lembek. Lain lagi Si Dilla. Besar, lumayan kenyal, cuma kurang mulus dan lingkaran di sekeliling putingnya agak lebar.

Aku masih menciumi bagian dada yang tak tertutup kutang sambil mencoba melepas semua kancing kemejanya. Kembali Ana menolak tapi dengan sedikit “pemaksaan” akhirnya kemeja berhasil kutanggalkan. Badan Ana yang masih remaja ini memang mulus. Bahu, lengan atas, dada dan perut semuanya halus. Aku belum melihat buah dadanya secara utuh, BH krem itu masih di tempatnya. Kini tali kutang sebelah kanan kutarik ke bawah. Bulatan dada kanan makin tampak, segera saja kuciumi lagi sambil mulutku bergeser ke bawah mencari-cari putingnya. Susah juga menyedot putingnya, karena begitu kecil ! Hanya berupa tonjolan saja. Kujilati tonjolan kecil itu sambil tanganku ke punggungnya melepas kaitan kutangnya. Tak ada perlawanan. Sepasang buah indah itu sudah terhidang di depanku. Dari pinggang ke atas sudah terbuka. Bulatan daging itu semakin nyata. Putingnya memang kecil dan warnanya merah jambu !
Gantian dada kiri yang kesergap sambil tangan kiriku meremas bulatan lainnya. Puting kecil itu mulai “tumbuh” dan mengeras, memungkinkan aku untuk menyedotnya.

Kubimbing Ana ke tempat tidur lalu perlahan kurebahkan. Aku langsung melucuti diri hingga telanjang bulat. Kelaminku sudah tegak siap. Ana melirik sebentar ke senjataku lalu terpejam lagi, tanpa komentar. Novi, Dilla, Fifi, Ria dan lainnya biasanya berkomentar :” Ihhh…..panjaang”. Ana tidak.

Dengan hanya mengenakan roknya, Ana kini terlentang di depanku di atas kasur. Aku bermaksud menindihnya, tapi perhatianku tertuju pada sepasang paha putih bersih yang hanya tersingkap sebagian. Segera sepasang tanganku menelusuri kedua belah paha itu. Halus dan licin ! Terus ke atas hingga menyentuh CD-nya. Tiba-tiba saja Ana mengatubkan kedua kakinya yang tadi setengah terbuka sambil menutupkan tangan ke selangkangannya.

“Jangan…….” Katanya.

Okey, nanti saja. Kini aku menindih tubuhnya. Kelaminku kutempatkan di selangkangannya setelah kusingkirkan tangannya. Sambil lidahku mengeksplorasi buah dadanya, aku menggoyang pantatku. Ana menolak aku merabai CD-nya mungkin karena rangsangannya belum tinggi. Gerakan lidah dan pantatku ini “dalam rangka” meningkatkan rangsangannya. Puting itu sudah tegang dan keras, sebenarnya. Tanganku ke bawah mencari-cari kaitan roknya. Ketemu. Tapi baru saja aku menarik resletingnya, Ana berontak lagi. Aku bangkit dan lalu menarik roknya. Lagi-lagi Ana menahanku.

“Dilepas saja …biar engga kusut” akalku.
“Jangan….Mas”
“Ayo, dong An…” Rangsanganku sudah tinggi, ingin segera menyentuh kelamin Ana.
“Jangan Mas…..saya belum pernah……”
“Ah….masa….Saya udah engga tahan…nih…” Aku engga percaya begitu saja kalau ia belum pernah bersetubuh, sebab awalnya tadi relatif lancar dan sekarang ia sudah telanjang dada. Kucoba lagi memelorotkan roknya. Ana menolak lagi, bahkan ia bangkit duduk.
“Ayolah An,….sekali saja….”
“Engga mau ! Ana belum pernah begituan”
“Ah..yang bener”
“Sumpah, Mas” Padahal aku sudah sampai pada “point no return”. Aku nekat. Dengan paksaan akhirnya terlepas juga rok itu. Ana berontak sewaktu kurabai CD yang ternyata sedikit basah. Kali ini berontaknya beneran.

“Tolonglah Mas…… jangan….” Pintanya dengan wajah memelas. Aku kasihan juga. Okey, mungkin ini pertemuan yang pertama jadi Ana belum mau. Lain kali aku harus bisa menembus perawannya, kalau memang benar ia masih perawan. Tapi gimana nih, aku harus terus. Kalau engga jadi aku bisa pusing. Kalau engga berhubungan kelamin sekarang, tentu harus ada “substitusinya”. Maka kudekatkan batang kelaminku yang tegang maksimal ini ke mulut Ana. Ana menutup mulutnya dengan tangan sambil menggeleng, Aku mulai kesal. Dengan sedikit kasar kutarik tangannya, kudorong kepalanya hingga rebah kembali ke bantal, lalu kutempelkan kepala penisku ke bibirnya.

“Ayo…kulum aja sebentar An” beberapa detik penisku sempat menyapu bibirnya, lalu Ana menolak lagi.
“Saya engga bisa …Mas….” Ujarnya kemudian setengah menangis.
“Jadi… gimana…. dong…. saya harus ke luar…kalau engga pusing!”

Jawaban Ana adalah, tangannya meraih penisku lalu dikocoknya. Tentu saja kurang enak meskipun tangannya halus tapi tak ada “pelicinnya”. Apa boleh buat, tak ada rotan akarpun jadi, kalau kebutuhan sudah mendesak. Supaya lebih nyaman, saya suruh Ana menggunakan sabun. Cara mengocoknyapun memperlihatkan Ana belum berpengalaman. Aku harus memberikan komando kapan memperlambat, mempercepat, menyempitkan dan melebarkan genggamannya.

Ketika kurasakan hampir tiba pada puncaknya, kusuruh ia memperlambat sambil sedikit melonggarkan. Lalu ketika tensiku menurun, kuminta untuk mempercepat. Demikian seterusnya sampai Ana trampil memainkan kelaminku, tanpa komando lagi. Dia telah hafal kapan mengubah cara kocokannya dengan melihat raut mukaku dan desahanku. Aku belum ingin ejakulasi sehingga kadang-kadang aku masih menyuruhnya memperlambat. Ana memang cepat belajar, merem-melek aku dibuatnya.

Suatu saat, kurasakan geli-geli luar biasa, rasanya aku hampir ejakulasi.
“Pelanin… An…” kataku sambil tersengal.
Tapi Ana bukannya memperlambat, malah mempercepat kocokannya. Kurang ajar, nakal juga anak ini. Aku sudah tak tahan, malah menikmati percepatan yang mengantarku sampai ke puncak.
“Srooot” tembakan mani pertama menimpa daerah dadanya. Ana kaget, tangannya berhenti.
“Teruus…. kocok……!” perintahku. Ana menurut sambil mengarahkan kelaminku agak kesamping. Srot-srot berikutnya mengenai bantal dan dinding. Sejenak aku terbang melayang………….dan lalu rebah…………!

Ana cepat-cepat melap air maniku yang bertebaran di buah dadanya.
“Ih…bau….” Katanya.

Untuk sementara aku berhasil melepaskan ketegangan. Walaupun demikian aku agak kecewa karena gagal menyetubuhinya.

“Kenapa sih Ana engga mau ?” kataku setelah kami selesai mandi.
“Sumpah Mas, saya belum pernah begituan”
“Justru belum pernah, ayo kita coba”
“Huu… enak di lu engga enak di gua. Sama pacar aja engga begitu. Ini pacar bukan, masa minta”
“Sama pacar kamu belum pernah juga” mataku meneliti buah dadanya yang naik turun mengikuti irama nafasnya.
“Sama siapapun” sahutnya sambil menutup buah itu dengan kutangnya.
“Kalau pacaran ngapain aja ?” tanyaku lagi sambil menyelipkan tanganku ke Bhnya meremas dada.
“Ah..”tampiknya.
‘Ya …. kaya… tadi” jawabnya. Lalu ia cerita tentang pacarnya yang selalu minta bersetubuh dan ia selalu menolaknya.
“Kenapa engga mau”
“Habis…dia engga mau nikahin. Udah punya isteri”
“Oooh. Milih pacar udah punya isteri”
“Habisnya saya suka”

Obrolan beralih tentang pekerjaannya. Katanya, kerjanya berat, hari liburpun harus masuk, tapi gajinya tak sesuai.
“Cariin kerjaan dong Mas”
“Agak susah sekarang. Kecuali……”
“Kecuali apa ?”
“Kecuali kalau kamu mau kasih itu kamu”
“Weee….sory aja ya” Ana selesai memakai kembali kemejanya.
“Susah kalau begitu”
“Pulang yuk, Mas” ajaknya setelah rapi kembali.
“Sebentar…dong” Aku masih bugil.
“Cepet pakaian, Mama suka nanyain kalau kesorean”
“Kapan ke sini lagi” Aku masih penasaran pengin meniduri Ana.
“Gimana nanti aja”
“Saya telepon ya”
“Jangan. Nanti Boss marah. Biar saya yang nelepon Mas” Setidaknya aku masih punya harapan untuk menidurinya.Ana minta diturunkan di pertigaan Gegerkalong. Sebelumnya kuselipkan uang.
“Buat jajan”
“’Ma kasih”

Hari-hari berikutnya sia-sia saja aku menunggu telepon Ana. Aku dibuat penasaran sama cewe satu ini. Ingin aku meneleponnnya ke Restoran itu. Tapi aku khawatir kalau ia kena marah Bossnya, lalu tak mau lagi menemuiku, maka lepaslah buruanku. Memang dibutuhkan kesabaran kalau kita memburu cewe. Sampai suatu hari, 6 hari setelah di hotel GE itu Ana menelepon ke kantor pagi jam 10.00. Minggu ini gilirannya kerja sore.

Ini dia kesempatan tiba. Dia minta saya menunggu di depan NHI pukul 11.00.

Singkat cerita, jadilah aku bawa Ana kali ini ke Hotel LGI, masih di Jalan Setiabudi. Agak riskan sebenarnya ke hotel ini, sebab tak ada garasi khusus seperti di GE. Tapi Ana tak mau lagi ke GE, tanpa menyebutkan alasannya. Aku nekat saja, daripada engga dapat Ana. Aku hanya punya waktu 2.5 jam, soalnya Ana harus sampai ke tempat kerja pukul 15 tepat.

Kembali aku mulai menciumi dan membuka kancing kemeja seragamnya sesampai kami di dalam kamar. Kali ini tak ada perlawanan, dengan mudah aku membuka kemeja dan kemudian BH-nya. Selesai mengeksplorasi sepasang buah yang menggiurkan itu, kubaringkan Ana ke tempat tidur. Waktu aku menelanjangi diri, Ana bahkan melepas roknya sendiri dan melipatnya dengan rapi. Maklum, habis ini ia langsung kerja. Dengan berbugil, kutindih tubuh mulus Ana yang hanya berCD itu. Kelaminku kuletakkan tepat diselangkangannya, lalu kugoyang. Sementara mulutku tak lepas dari puting mungil merah jambu yang telah mengeras itu. Kali ini aku harus bisa menembus vaginanya. Kutelusuri hampir seluruh permukaan kulit mulus itu. Penisku sudah tegang maksimum. Tibalah saatnya, kutarik celananya, tapi Ana masih menahannya. Dengan sedikit paksaan, CD itu akhirnya lepas juga. Hatiku bersorak. Aku pasti dapat kali ini.

Bukan main ! Vagina itu menunjukkan keremajaan Ana. Permukaannya bersih, hanya sangat sedikit ditumbuhi bulu-bulu halus. Oh Ana….. bahkan jembutmupun belum tumbuh ! Kuusap permukaan vaginanya, kusentuhkan jariku ke pintunya yang ternyata membasah. Lalu, sambil menyentuh kelentit yang tak begitu kelihatan (karena begitu kecilnya) , ujung jariku sampai ke pintu vaginanya. Spontan Ana menutup pahanya dan menarik tanganku. Okey, aku lalu menindihnya lagi. Kugesekkan kepala penisku ke pintu itu, lalu dengan perlahan kudorong.

“Ah…” teriaknya kecil sambil pantatnya digeser mundur.
“Jangan dimasukin Mas…”
“Engga.. engga…cuma digeser-geser aja” Ditengah gesekan, kembali aku coba menusuk. Lagi-lagi Ana mundur.
“Jangan ! Sakit….” katanya sambil cemberut lalu bangkit mencari-cari CDnya. Wah gawat nih kalau dia ngambek, bisa gagal lagi aku.
“Iya… iya… deh, saya engga masukin” kataku sambil mengembalikan posisi terlentangnya. Kubuka pahanya lagi, kutempelkan lagi penisku dan kugeser-geser naik turun, dan kadang-kadang sedikit menekan. Sebenarnya, pada posisi menekan itu kepala penisku sudah masuk, hanya kalau aku tekan lagi kontan Ana akan mundur kesakitan sambil mengancam akan “udahan”. Terpaksalah aku hanya menikmati gesekan pada kepala penisku, tapi lama-lama keteganganku naik juga, ada rasa geli-geli juga, ada rasa melayang juga, dan………….aku ejakulasi di perut Ana sambil mencengkeram tubuhnya erat-erat. Apa boleh buat, setiap aku mulai menusuk Ana selalu menghindar. Bagaimanapun ada kemajuan, Ana sudah bersedia berbugil dan melayaniku sampai ejakulasi walau kelaminku tak sampai masuk ke dalam, hanya di permukaan mulut vaginanya. Dia tak mau kehilangan keperawanannya. Dari pembicaraan setelah itu, terungkap bahwa Ana tetap mau melayaniku asal dengan cara seperti itu, dan ternyata ia membutuhkan “uang jajan” untuk tambahan gajinya yang tak mencukupi. Tentu saja aku kurang puas, mauku ya….sampai “tuntas”, hubungan kelamin. Jadi, waktu Ana meneleponku lagi beberapa hari sesudahnya, akupun minta syarat : penisku harus masuk tuntas. Ana tetap tak mau, akupun menolak ajakannya. Sayang memang menolak tubuh remaja ranum yang mulus itu. Sampai kira-kira sebulan setelah pertemuan kedua di LGI itu, Ana menelepon lagi…………………….

“Boleh, asal Ana mau sampai tuntas” jawabku atas ajakannya untuk bertemu lagi. Sebenarnya, dengan cara ejakulasi seperti sebelumnya akupun mau. Tubuh ranumnya membuatku kangen.

“Seperti biasa aja, Mas”
“Engga mau ah” Aku tahan harga.
“Kan pokoknya Mas bisa keluar”
“Iya….tapi beda, dong”
“Beda apanya”
“Lebih nikmat kalau tuntas”
“Tolong, dong Mas, engga punya duit nih”

Akhirnya akupun mengalah, daripada tak ada “sasaran” sama sekali, sekaligus bisa menolong Ana dan memang aku rindu tubuh mulusnya !

Di tengah perjalanan menuju ke Setiabudi, Ana nyeletuk”Jangan ke sana lagi, Mas”
“Lho, kenapa ?”
“Yaa…..pokoknya jangan deh”
“Atau ke GE aja”
“Jangan juga”
“Kenapa sih ?”

“Saya engga mau dua kali di tempat yang sama, takut ketahuan” penjelasan yang masuk akal. Aku berpikir keras, kemana ? Oh ya. Kuputar mobilku 180 derajat, ke arah bawah, ke kawasan Dago, di hotel BD. Di hotel ini hanya ada satu kamar yang aman dan nyaman, paling depan letaknya. Mudah-mudahan saja tidak sedang dipakai oleh para peselingkuh lain. Kamar ini occupancy rate-nya bisa di atas 100 % !

Setelah pelayan menutup rolling door, baru Ana berani turun dari mobil. Masuk kamar, langsung kukunci dan Ana kusergap.
“Entar dulu, nanti ada yang masuk, lho” Memang, biasanya pelayan akan mengantarkan handuk, sabun, air minum, dan kuitansi.
“Udah dikunci”

Sambil duduk, kamipun berciuman. Telepon berdering. Aku melepas. Resepsionis menanyakan apakah aku mau bermalam atau hanya “istirahat” saja. Tarif istirahat 75% dari tarif semalam, aku bisa memakai selama 4 jam.

Penisku telah tegang, maklum sudah 3 hari aku tak menggunakannya. Sambil menghampiri Ana, kubuka resleting celanaku, kukeluarkan isinya. Kudekatkan ke muka Ana yang masih duduk di kursi, digenggam sebentar, kemudian dielus-elus. Tiba-tiba ditariknya kontolku mendekat sampai aku hampir hilang keseimbangan, dan………..langsung dimasukkan ke mulutnya ! Kejutan ! Dari dua kali pertemuan sebelumnya, berkali-kali aku minta Ana untuk melakukan oral-sex tapi tak pernah mau. Sekarang, tanpa diminta dia malah “melahap”. Kelihatan Ana belum berpengalaman melakukan oral, gerakannya sangat “sederhana”. Tapi aku merem-melek juga.

Baru beberapa kali kuluman, pintu diketuk. Buru-buru Ana melepas penisku dan aku “menyimpannya” kembali. Pelayan membawakan barang-barang yang aku bilang tadi, aku membayar, pintu kukunci lagi, dan kontol kukeluarkan lagi.

“Udah ah” kata Ana menolak. Anak ini aneh, tanpa diminta ia mengulum, giliran aku mau, ia menolak. Waktu kusodorkan lagi penisku kemulutnya, Ana malah berdiri dan menciumku. Sambil bermain lidah kupereteli pakaiannya satu persatu sampai telanjang bulat, lalu kutuntun ke kasur. Aku cepat-cepat berbugil.

Kutindih tubuh ranum itu, sementara mulutku menelusuri lehernya, lalu turun ke belahan dadanya, terus bergerak ke buah dada kanan, dan berakhir dengan jilatan lidah pada puting kecil merah jambu itu. Beberapa saat kemudian puting itu mulai menonjol dan mengeras.

Sambil mengemoti puting, tanganku bergerak merayapi pinggangnya dan terus ke bawah ke pahanya, lalu keselangkangan. Permukaan vagina yang baru tumbuh sedikit rambut halus itu kutelusuri dengan tangan. Kemudian, perlahan jariku menyentuh kelentit (yang juga kecil) dan ke bawah sedikit sampai ke pintu vagina yang ternyata sudah basah. Ketika jariku mulai memasuki pintu, Ana langsung menggeser pantatnya sambil menutupkan kakinya.

Kutarik tanganku dan sampai ke dada kiri, kuremas buah kenyal itu, sementara mulutku belum lepas dari dada kanannya. Lutut kuselipkan diantara pahanya sehingga pahanya kembali membuka. Fungsi tangan yang tadi aku ganti dengan kontol. Kutindih selangkangannya dengan penisku yang sudah keras maksimum. Seperti yang sudah-sudah aku hanya mengosokkan kepala penisku ke pintu vaginanya sambil sesekali mencoba masuk. Lagi-lagi Ana menarik pinggulnya menghindar.

Aku sudah tak tahan, nafsuku sudah sampai puncak, ingin masuk sekarang juga ! Aku melepaskan buah dadanya dan bangkit. Dengan bertumpu pada lututku, kubuka paha Ana lebih lebar, lalu kutempatkan lagi penisku ke lubang vaginanya dan kudorong. Lagi-lagi Ana menghindar.

“Engga-engga, saya engga masukin, cuma kepalanya aja seperti kemarin” kataku sambil terengah karena nafsu yang memuncak. Setelah kepalaku masuk, kurebahkan tubuhku, dan kugoyang pantatku maju mundur. Tentu saja goyangan pendek, sebab penisku hanya di sekitar pintu vagina saja.

Ah, kalau begini terus apa enaknya. Aku nekat. Bangkit lagi bertumpu pada lutut, kutusuk vagina Ana kuat-kuat.
“Aahh, kasar begitu sih…”
“Sory… An, habis engga tahan”







Dengan lebih pelan tapi dengan kekuatan yang sama, kembali aku menusuk. Bless…Kepala penisku masuk. Kelihatannya masuknya kepala penisku ini seperti pertemuan kedua minggu lalu, tapi jepitannya terasa lebih erat, jangan-jangan sudah masuk nih. Aku memeriksa ke bawah, kepala itu sudah hilang ditelan vagina Ana, diujung pintu itu hanya nampak leher kelaminku. Mungkinkah aku sudah menembus perawannya ? Tapi mana darahnya ? Lagi pula Ana tak menghindar seperti biasanya. Pembaca, dalam kondisi begini jelas tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain terus menusuk ! Tapi mentok. Seakan tak ada lubang lagi di dalam sana. Akupun menarik pelan-pelan penisku untuk kemudian mulai mengocok, perlahan.

“Eeeefffff” Ana melenguh sambil mengatubkan bibirnya. Mungkin dia mulai menikmati kocokan pelanku. Setelah beberapa kali kocokan, dengan masih bertumpu pada lututku, aku mulai menusuk lagi. Kali ini dengan tenaga penuh. Bleeessss…….kulirik ke bawah, separuh kontolku sudah tenggelam ! Kontolku benar-benar terjepit kuat ! Tapi masih belum ada darah. Ah, peduli amat dengan darah, yang penting….nikmat! Aku mulai mengocok lagi. Jelas kali ini lebih nikmat, karena gesekan dinding vagina Ana terasa lebih panjang di kontolku. Ana kulihat memalingkan wajahnya ke kanan sambil menggigit jarinya. Aku rasa ia juga menikmati kocokanku. Sambil mengocok pelan, secara bertahap aku memperdalam jangkauan penisku ke dalam vagina Ana sampai seluruh batang kontolku habis ditelan. Hatiku bersorak. Akhirnya, Aku berhasil juga menyetubuhi remaja ranum ini. Aku benar-benar berhubungan kelamin sekarang !

Ooohhhh…..Betapa nikmatnya vagina perawan si remaja ranum ini. Syaraf-syaraf di seluruh permukaan penisku merasakan cengkeraman dinding-dinding vaginanya. Berbeda dengan wanita-wanita yang pernah kutiduri sebelumnya, vagina mereka umumnya “tak ada remnya” sehingga agak susah penisku mencari-cari gesekan meskipun dengan berbagai macam gaya. Si ranum ini lain. Jepitan dinding vaginanya begitu “pakem” walaupun aku dengan gaya “standar”. Aku belum perlu mempercepat kocokanku. Dengan kocokan pelan, gesekan vaginanya bisa lebih kunikmati. Terlalu sayang untuk dilewatkan. Masalahnya cuma dalam hal mengocok aku menyukai variasi, baik kecepatan maupun “gaya”.

“Aaau…” terdengar jeritan kecil Ana ketika Aku mulai mengubah kocokan dengan memutar. Lalu kembali ke gaya semula, mengocok perlahan.

“Jangan….keluarin di..dalam…ya…Mas……” kata Ana tersendat ketika aku mulai mempercepat kocokanku. Entah karena aku mempercepat kocokan atau karena pengaruh perkataan Ana tentang “keluarin”, mendadak aku merasa geli-geli hampir ke puncak. Akupun kembali memperlambat. Tapi rasa ke puncak tak berkurang juga. Mungkin saatnya memang hampir tiba. Kocokan kupercepat lagi.

“Maaaassss……..” kali ini teriakannya agak keras. Aku tak peduli, saat puncak sudah dekat, justru makin kupercepat. Aku melayang-layang, dan……..sedetik sebelum puncak kucabut kontolku dari vagina Ana.

“Aaauufffffff” kini Ana benar-benar teriak. Aku rebah di tubuh Ana, dan….sroottt…sroottt….sroottt. Kutumpahkan maniku di perut Ana. Aku masih merasa terbang. Terbang nikmat………..

Menit-menit berikutnya aku masih tak berkutik di atas tubuh Ana. Kulirik ke bawah, banyak juga aku menyemprotkan mani. Kontolku masih agak tegang terjepit di antara perut kami, juga basah. Basahnya yang membuat aku heran, kenapa basah hanya oleh cairan bening agak putih, tak ada warna merah. Penasaran aku bergeser “memeriksa” vagina Ana dan sprei di bawahnya. Basah yang sama, tak ada warna merah. Dari jepitan dan cengkeraman vagina, kemudian ada rasa mentok waktu tadi masuk, aku yakin tadi telah menembus perawan Ana. Kenyataannya lain. Seseorang telah mendahuluiku. Seseorang telah memecahkan selaput dara Ana. Aku jadi berang.

“Siapa dan kapan” tanyaku menyelidik.
“Apanya…..”
“Ayolah…terus terang aja An…”
“Emang beda gitu ?”
“Jelas beda…. dong” sebenarnya, aku tak merasakan perbedaan jepitan tadi dengan ketika aku memerawani seseorang 5 tahun yang lalu.
“Siapa…An ?”
“Apa bedanya ?” malah balik bertanya.
“Walaupun sedikit, punyamu harusnya berdarah” kataku. Ana diam saja. Agak lama, kemudian….
“Sama pacar saya” akhirnya ia mangak.
“Kapan ?”
“Seminggu yang lalu”
“Kenapa engga dikasih ke saya” Ana tak menjawab. Perawannya diberikan ke siapa saja itu hak Ana, cuma aku kecewa berat. Terlambat. Kehilangan kesempatan emas yang telah lama aku inginkan. Coba aku dulu engga “ngambek” tak mau menghubungi Ana, aku bisa mendapatkannya. Cuma selisih satu minggu. Bagaimana tak kecewa ?

Beberapa menit kemudian Ana bangkit menuju kamar mandi dengan masih bugil. Kuperhatikan sosok tubuh mulus itu dari belakang. Sungguh tubuh yang menggairahkan, sayang aku gagal sebagai orang pertama yang menikmati tubuh ranum itu.

Keluar dari kamar mandi dengan hanya berbalut handuk putih, Ana kelihatan segar. Ukuran handuk hotel BD ini kecil, sehingga hanya sanggup menutupi separoh dadanya sementara di bagian bawah hanya pas menutupi vagina. Sepasang paha mulus itu terbuka penuh. Belahan dada segar itu tampak ketika ia memunguti CD dan Bhnya. Memperhatikan gerakan-gerakan tubuhnya sewaktu memakai celana dalam dan kutangnya membuat aku terrangsang lagi. Kulihat jam, masih ada waktu sekitar 40 menit. Dengan masih berbugil segera kupeluk Ana yang baru selesai mengenakan kutang dari belakang. Kuciumi leher belakangnya dan kuremas dadanya.

“Sekali lagi ya An…”
“Eeh…Mas….saya kan harus kerja”
“Masih ada waktu” kataku sambil sambil menggosokkan kelaminku ke pantatnya.
“Nanti telat Mas…”
“Engga….sebentar aja”

Kulepaskan kembali Bhnya, lalu kuputar tubuhnya dan dadanya kusergap. Ana tak menolak, mungkin karena tadi merasa bersalah. Cdnya kupelorotkan, lalu kubimbing kembali ke kasur. Aku menidih. Aku menggoyang. Aku masuk. Aku mengocok, berputar, menggoyang………lalu mencabut. Aku ingin posisi lain.

Aku rebah terlentang. Ana nurut saja ketika kusuruh menduduki badanku, memasukkan kelaminku ke vaginanya. Dengan posisi jongkok menghadapku Ana turun-naik sementara aku mencengkeram kedua buah kembarnya.

“Aaahhhh…sakit…Mas….” Katanya sambil hendak mencabut. Aku buru-buru menekan pinggulnya ke bawah supaya nancap lagi.
“Goyang An….” Ana menggoyang.
“Engga enak….sakit….Saya di bawah aja Mas”

Kutarik badan Ana rebah di tubuhku. Tanganku memeluk erat. Aku ingin berganti posisi tanpa mencabut. Dengan tubuh menyatu, kami berguling.

Pompaan kupercepat.
“Jangan…telat nyabutnya..ya…”

Dan…………………………aku terbang di awan.

Persis pukul 15 kurang tujuh menit Ana kuturunkan di depan restoran. Dengan bergegas Ana masuk………..

Hari-hari berikutnya hubungan kami berlanjut. Nomor telepon rumahnya sudah di tanganku, cuma aku harus hati-hati kalau kebetulan Mamanya yang angkat telepon. Ana tetap tak bersedia ditelepon ke tempat kerjanya.

Kalau “adikku” sedang nakal, aku meneleponnya, sebaliknya kalau Ana butuh tambahan uang jajan, dia menelponku. Sesekali aku hanya memberi uang tanpa meminta “pelayanannya”. Kalau aku ingin “keluar di dalam”, kugunakan kondom untuk menjaga hal-hal yang tak kuinginkan.

Kini, empat tahun kemudian, kami sudah jarang ketemu. Pertemuan terakhir kira-kira 5 bulan lalu Ana sedikit kurus. Kekenyalan buah dadanya berkurang. Ana masih sendiri, masih tinggal bersama mamanya.
Read More..

Monday, May 18, 2009

Perawan Dina

Semua ini berawal beberapa tahun yang lalu, saat aku masih kelas II SMU. Saat itu aku pergi ke kota Jakarta, mumpung lagi libur, sekalian mengunjungi saudara-saudara yang ada di sana. Disana aku nginep di tempat Oomku yang punya tiga anak, yaitu Agung, Sinta, dan Dina. Agung sudah kuliah, Dina sebaya dengan aku (lebih tua dia tiga bulan), dan Sinta masih SMP kelas II. Aku masih ingat betul, nyampe di Jakarta hari Senin sore di Stasiun Gambir, dan saat itu langsung disambut oleh Oomku sekeluarga.

Hai Vit, gimana kabarnya? Wah, tambah gede aja lo. Mama baik?” dan beribu pertanyaan dan komentar yang harus aku tanggapi di perjalanan dari stasiun ke rumah Oomku.
Tapi, pikiranku bukannya tertuju ke pertanyaan-pertanyaan itu, tapi justru kepada Dina sepupuku, benarkah itu Dina? Si gadis culun itu? Bukan, sekarang Dina sangat jauh berbeda dengan yang kutemui 2 tahun lalu. Dulu dia sangat polos, wajahnya biasa saja, bodinya juga kerempeng, tapi sekarang? Wauw, waktu benar-benar telah merubahnya, kulitnya yang putih, wajahnya yang imut-imut dibalut make up tipis, dan perubahan yang paling nampak adalah bodinya yang semlohai dibungkus kaos ketat membuat dadanya begitu menantang dengan ukuran kira-kira 36B. Gue cuman bisa menelan ludah.
“Hoi, diajak ngomong malah ngelamun.”
Sialan nih si Agung, bikin napsu gue jadi ngedrop.
“Iya nih si Vito, dari tadi diajakin ngomong kaga nyambung-nyambung”, timpal Dina sambil menggelendot manja di pundak gue.
Dia memang akrab banget sama gue, dari kecil sama-sama, main bareng, mandi bareng, tapi udah lama nggak, soalnya gue pindah dari Jakarta ke kota gue sekarang waktu masih kelas IV SD, ngikut bonyok.

Aku cuman bisa senyum-senyum, nggak lama kemudian, kita nyampe, dan aku pamit mau mandi dulu. Pas gue mandi, sialan adek gue kaga mau turun-turun, ngaceng terus mikirin bodinya Dina, buset dah, gimana ya rasanya megang toket segede gitu? Terus terang aja aku belum pernah megang toketnya cewe, apalagi ngentot, paling mentok ya ngocok sendiri. Terlebih ukuran kontol gue termasuk pas-pasan, cuman 14 cm kalo lagi ngaceng. Dengan ukuran yang cuman segitu, gue jadi minder ngedeketin cewe. Pelajaran sex gue dapetin dari nonton Blue Film.

“Vit, ngapain lo di dalem? Lama banget, gantian dong, gue juga mau mandi nih!” Dina teriak dari luar.
Gue melongok, buka pintu dikit.
“Ngapain Din? Kamu mau mandi juga?”
“Yoi, cepatan donk, lo mo ngikut kaga? Gue mo nyusul bokap neh.”
“Lho, emangnya pada kemana?”
“Pergi semua ke Oom Yong, ntar kita nyusul aja”.
“Hmm, pada pergi semua, kesempatan nih”, pikir gue.
“Ya udah, kita mandi bareng-bareng aja yuk”.
“Gile lo Vit, mandi bareng?”
“Iya, kita kan udah biasa mandi bareng”.
“Itu kan dulu! Sekarang ya udah nggak pantes kalo kita mandi bareng”
“Ahh, sekarang atau dulu kan sama aja.”
Lalu gue tarik dia masuk ke kamar mandi, nggak sengaja tangannya nyenggol kontol gue yang masih ngaceng. Muka Dina langsung merah padam, malu kali.
“Napa Din? Malu? Ga usah malu, kan kita udah biasa mandi bareng, sini aku bukain bajunya”
“Vit! Lo gila ya? Udah ah, gue males main-mainnya. Kita kan udah pada gede Vit.”
“Lho, apa salahnya sih? Mandi bareng kan nggak pa pa?” Dina diem aja.
“Udah, sini aku bukain bajunya”
Gue pura-pura cuek, berlagak bener-bener mau mandiin beneran, padahal jantung gue udah mau copot rasanya. Gile nih anak, bodinya bagus banget, ini toket beneran bukan sih.

“Gue sabunin ya?”
Dina diem aja saat gue siramin air dari shower, lalu gue sabunin seluruh tubuhnya, lalu pas tangan gue di toketnya, sengaja gue lama-lamain, ouuhh, nikmat dan benar benar kenceng, trus gue mainin pentilnya, gue pilin-pilin, diputer, dielus-elus, Dina diem, tapi dari nafasnya yang memburu gue tau kalo dia udah mulai terangsang.
“Aahh, Vit, jangan digituin dong, geli.”
“Tapi enak kan? Udah, diem aja, nggak usah ribut”.
Gue terus aja cemek-cemek itu toket, dan Dina mulai mendesah nggak keruan,
“Mmmhh.. mmhh.. aduuhh.. Geli ah, Vit. Udah dong”
“Napa sih Din, lo bawel amat? Ini lagi dibersihin, lagi disabunin, diem aja napa?”
Gue salut ama diri gue, bisa bersikap sok cuek seperti gitu, padahal Dina udah mendesah nggak keruan.
“Aaahh, terus Vit, teruuss, aahh.. oohh, god, enak banget.”
“Ih elo jangan mendesah seperti gitu dong, gue jadi pengen juga nih, sini, gue tuntun elo ke jalan yang benar”

Tangan Dina gue tarik, terus gue suruh dia pegang-pegang kontol gue, pertamanya memang masih pegangannya masih agak kaku, tapi lama-kelamaan jadi makin enak, terlebih buat gue, yang belum pernah tau kenikmatan duniawi. Dan Dina pun makin lama makin lihai dalam memainkan kontol gue, gue merem melek, sambil terus meremas-remas toket Dina, dan desahan- desahan yang keluar dari mulut kami sudah tak beraturan.
“Teruus Siin, oohh, gile beneerr oohh.., aahh..” terus gue kelamotin pentil Dina yang berwarna pink tua (bukan pink, tapi juga bukan coklat.
“Sluurrpp.., sluurrpp.., crruup..”
“Aahh,.. teruuss Viit, adduuhh, gue nggak tahann, enaakk bangeet.. oohh.. oohh.. auuhh..”

Pelan-pelan gue deketin kontol gue ke bagian bawah perutnya, terus gue gesek kontol gue di bibir memeknya. Dina melenguh, “Oouuhh,.. ouhh.. oohh.. ahh”
“Auuhh.. auuhh.. Vit.. gue jadi pengen pipis nih.. auuhh.. oohh”
Gue gesekin kontol gue lebih cepat, Dina makin beringas, badannya meronta nggak beraturan.
“Ahh.. uuhh.. Vit.. Gue.. gue.. pipis.. ahh.. ahh..”
Dina menggelinjang, tangannya mencengkeram punggung gue.
“Din, gue masukin ya, sayang..”
“Jangan, Vit, jangan”
“Ayo dong Din.., gue nggak tahan nih, gue kepengen tau rasanya ngentot”
“Jangan Vit! Gue.., gue.. masih.. Please, Vit, jangan..”
“Masa elo nggak pengen tau enaknya ngentot, Din?”
“Iya, tapi please Vit, jangan, gue belon pernah digituin, gue masih.. masih.. virgin. please.. jangan..”
“Gue jadi nggak tega ngeliatin mukanya yang memelas”
“OK, nggak pa pa deh, tapi elo mau kan bantu gue? Tolong pegang-pegang kontol gue dong, nanggung nih.. cuman pegang aja, kocokin sampe gue pipis juga. Mau ya? Please.”
Dina mengangguk, lalu mulai memegang-megang kontol gue lagi, lalu mulai mengocoknya dengan gerakan maju mundur, ahh, enak banget..
“Din, jilatin donk, diemut juga boleh..”





Pada mulanya Dina menolak, tapi berkat jurus rayuan mautku, akhirnya dia mau meniup ’seruling’ku.
“sluurrpp.., sluurrpp.., crruup..”
“Aoohh, teruuss, Siinn.. oohh.. teruuss.. jilatin, Din.. oohh.”
Mendengar desahanku, Dina makin bersemangat, jilatannya makin ganas, dari pangkal sampai ujung kontolku dijilatinya sampai tak bersisa, lalu dikulum, diemut maju mundur, aku sampai blingsatan dibuatnya.
Sampai pada akhirnya, “Ahh.., Siinn.., teruuss, jangan dilepaass.. sedoot yang kuaatt..”
Croott.., croot.., cruut.. cruutt.. cruutt.. pejuku menyemprot keluar sebagian di mulutnya, dan sebagian lagi menyemprot di dada dan mukanya. Ooohh, benar-benar nikmat.., inikah surga dunia? Belum tentu, karena gue belum tahu, ada yang lebih menyenangkan dari ini.

Setelah kejadian di kamar mandi itu, gue dan Dina berangkat ke rumah Oom Yong naik taksi, dan setelah berbasa-basi sebentar, ngobrol-ngobrol dengan Oom Yong, kami pulang bersama-sama ortunya Dina.
Agung memecahkan keheningan di mobil, “Vit, nanti kamu tidur di kamarku aja, kita ngobrol sampe pagi.”
Belum sempat aku ngejawab, Dina udah menimpali, “Kasian dong, udah Capek di kereta, masih mau diajak ngobrol, biar di kamar gue aja, ntar gue tidur sama Dina. Lagian kamar elo jorok, bau. Udah Vit, elo di kamar gue aja. ntar gue gantiin sepreinya.”

Malam itu, kira-kira jam sepuluh lebih dikit, gue belum bisa tidur, gue masih kepikiran kejadian di kamar mandi tadi sore, tau-tau pintu kamar diketok, gue buka dikit, Dina di depan pintu sambil cengar-cengir.
“Napa Din?”
“Ssstt, nggak pa pa, gue cuma pengen ngobrol bentar, mau kan?”
Dina masuk, diam-diam aku nelen ludah lagi, gile bener, pakaiannya, baby doll dari bahan tipis, membuat apa yang ada di dalamnya jadi nyaris terlihat.
“Sinta sudah tidur?” aku membuka pembicaraan.
“Sudah, eh, omong-omong, tadi sore bener-bener enak loh Vit.”
Deg. Dina langsung to the point, jantung gue mulai dag Dig dug lagi.
“Sorry Din, aku tadi nggak niat gitu, tapi kebawa napsu aja, sorry ya Din, Elo mau kan maapin gue?”
Di luar dugaan, Dina malah ketawa pelan, “Nggak pa pa kok Vit, aku justru mau ngomong makasih, soalnya aku belum pernah ngerasain seenak itu. Dari dulu gue pengen ngerasain dicumbu sama cowok, tapi gue kan nggak boleh pacaran sama Papa, jadinya ya nggak kesampaian. Tadi aku udah ngerasain, rasanya benar-benar enak banget. Tapi jangan diulangi lagi ya, gue takut ntar kebablasan.”

Kami ngobrol nggak lama, dan nggak terasa gue ketiduran. Ngga tau berapa lama kemudian, gue terbangun, dan sempet kaget juga ternyata Dina tidur di sebelah gue, dengan posisi miring, gue cuek aja, dan ngeloyor keluar mau ambil minum, pas gue balik ke kamar, posisi Dina udah berubah menjadi telentang, dan mau tak mau gue melihat pemandangan yang mengasyikkan itu, dua buah gunung kembar yang menjulang, dan kakinya sedikit menekuk ke samping, sehingga CD pink-nya yang bergambar bunga-bunga terlihat jelas.

Batang kejantananku mulai mengeras, dan darahku rasanya sudah naik ke ubun-ubun, sialan, ni anak bener-bener bikin napsu, serta merta gue deketin dengan hati-hati dan kuusahakan supaya nggak ngagetin dia, pelan pelan gue buka bajunya, kebetulan baju tidurnya adalah baby doll tipis dengan kancing di depan, sehingga usaha gue bisa berhasil dengan mudahnya. Tangan gue mulai bergerilya, dan gue raba toketnya yang sekel itu lalu gue remes pelan2, tapi gue nggak puas sampe disitu, BHnya gue tarik ke atas pelan-pelan sampe toketnya keluar dari BH, terus gue emut pentilnya dan gue kulum-kulum pelan, Dina menggeliat sebentar, tapi nggak terbangun, setelah gue rasa aman, baru gue lanjutin bergerilya, CDnya gue tarik ke bawah, dan terlihat rerimbunan jembut yang nggak begitu lebat. Dina menggeliat lagi, dan gue berhenti.

Setelah beberapa menit, gue mulai lagi, gue buka celana gue biar si kecil nggak tertekan di dalam CD gue, gue lebarin kakinya Dina, terus gue jilatin lipetan memeknya, hmm, baunya benar-benar merangsang, gue buka lipetan memeknya itu, dan terlihat merah merekah, lalu gue jilatin lagi, dan terasa ada daging sebesar kacang, inikah yang disebut clitoris? Ah, peduli amat, gue jilatin terus memeknya Dina, dan gue fokus di clitorisnya sampe basah dan Dina mulai gerak-gerak lagi, wah, celaka kalo sampe bangun, bisa berabe nih, tapi udah kepalang tanggung, gue kaga peduli lagi, gue udah nggak tahan, kakinya Dina gue angkat, terus pelan-pelan gue masukin kepala kontol gue ke bibir memek Dina, Dina terbangun dan kaget, langsung gue sodokin kontol gue, bleess.
“Aahh, adduuhh..” pekik Dina.
Langsung gue tutupin mulutnya pake tangan.
“Aahh,.. hepp.. ssh..”
Gue mulai gerakin kontol gue maju mundur, ouhh.. sempit banget, dan Dina mengerang-erang kesakitan, tapi setelah berapa lama, dia mulai tenang, trus gue lepasin tangan gue dari mulutnya.
Gue bisikin, “Sstt jangan teriak Din, ntar ada yang denger. Kamu nikmatin aja, OK?” Dina cuma mengangguk lemah.

Langsung aku goyang maju mundur, kiri kanan sekuat tenaga.
Dina mendesah, “Emmpphh.. emmhh.. emhh.. akkhh.. ahh.. oouuhh..”
“Masih sakit Din?”
“Ngga.., sekarang malah jadi enak.., terus Vit, jangan berhenti..”
“Goyangin pantatnya Din”
Dina menurut dan menggoyangkan pantatnya.
“Akkhh.. ahh.. ahh.. ouuhh.. ouuhh.. terruuss.. Viitt teruuss.. terruuss.. oouuhh.. enak banggeet..”
Gue makin bernapsu denger desahan Dina, gue tarik kontol gue sampai sebatas kepala zakar, trus gue sodok sekenceng-kencengnya, gue sodok-sodok terus, Dina semakin blingsatan dan memek Dina makin terasa becek dan hangat di kontol gue. Crepp.. crepp.. crepp.. crepp.. gesekan kontol gue dan memek Dina yang becek menimbulkan bunyi-bunyi yang merangsang.

“Oohh.. ahh.. auuhh.. ahh..”
Dina mendesah nggak keruan dan sepertinya dia sangat menikmati permainan ini, aku terus aja nyodok, makin lama makin cepat.
“Auuhh.. oohh.., Viitt,.. aku.. aku.. nggak tahaann.., enaakk.. terruuss.. dikiitt lagii.. aahh.. truuss goyanngg.. aahh, gue.. pipiiss..”
Serr.. serr.. serr.., gue liat Dina udah nyampe, kontol gue seperti disiram air hangat, gue goyang lebih cepat.
“Tahaann.. bentaarr.. Din.., akuu.. jugaa.. mauu.. keluuaarr..”
Dan akhirnya cruutt.. cruutt.. cruutt.. gue semprotin peju gue di dalam memek Dina, sambil gue goyangin terus kontol gue. Akkhh, ini baru surga dunia. Nikmat.

Gue tiduran di sebelah Dina yang tersenyum lemas, senyum kepuasan, menikmati indahnya dunia, beberapa saat kemudian Dina mencium bibir gue, trus gue balas pagut bibirnya dan kami berciuman cukup lama, seperti sepasang kekasih yang sedang bermesraan. Pada saat mau ke kamar mandi untuk ngebersihin badan, Dina memekik kaget melihat noda darah di seprei yang baru digantinya tadi sore. Wajahnya menunjukkan setitik penyesalan, gue peluk dia, sambil mengusap-usap kepalanya.

Jujur gue katakan, gue juga menyesal, telah merenggut keperawanan seorang gadis, terlebih itu saudara sepupu gue sendiri. Tapi kini, setelah lewat beberapa tahun, hal itu masih sering kami lakukan, saat Dina datang ke kota gue atau gue ke Jakarta, kami selalu menyempatkan diri untuk bertemu dan memadu kasih layaknya sepasang kekasih, padahal saat ini gue sudah punya istri, dan seorang anak berumur enam bulan, dan Dina sudah memiliki pacar, dan berencana untuk menikah dalam waktu dekat. Baik istri saya maupun pacar Dina nggak menaruh curiga dengan kami, dan menganggap hubungan kami adalah sebatas saudara dekat/akrab semata.

Read More..